xOeSJZwEqEHxAtyEgOy1ztCUdVCJP06QsbYigFCu
Bookmark

Idealisme dan Gerakan Mahasiswa


Pendahuluan
Nasib suatu bangsa ditentukan oleh bangsa itu sendiri. Perjalanan sebuah bangsa menuju pada cita-cita kemerdekaan bukanlah ditentukan oleh bangsa lain, namun oleh gerak langkah dinamis yang dialami oleh bangsa itu sendiri. Kekayaan karakter dan intelektualitas dapat membantu gerak arah sebuah bangsa menuju pada tujuan secara tepat dengan menggunakan gerakan yang dinamis. Kesejahteraan rakyat, demokrasi, keadilan dan kesatuan adalah cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh semua kelompok masyarakat. Akan tetapi hal tersebut tidaklah serta merta terwujud akibat dari adanya sebuah bentuk pemerintahan. Harus ada elemen-elemen lain didalam masyarakat yang memainkan peranannya dalam mengawal pembangunan dan kemajuan, dengan mengedepankan nilai-nilai universal yang ada. Mahasiswa sebagai salah satu elemen penting dalam masyarakat, mendapatkan peran dan tanggung jawab ini. Mahasiswa harus turut serta bertanggung jawab terhadap nasib bangsa Indonesia.
     Peran dan tanggung jawab mahasiswa sudah dibuktikan lewat sejarah perubahan yang terjadi dimuka bumi ini. Proses pembaharuan yang terjadi di Mesir, Libia, Syria, dan Tunisia pada beberapa tahun silam, membuktikan bahwa mahasiswa dinegara-negara tersebut menjadi motor penggerak terjadinya pembaharuan sebuah Negara. Di Indonesia sendiri, sejarah mencatat besarnya peranan mahasiswa dalam memperjuangkan kemerdekaan 1945 dan mengawalnya, hingga masuk ke era reformasi 1998 dan pasca reformasi. Mahasiswa sebagai cendekiawan muda dan sangat dekat dengan masyarakat, terpanggil lewat idealismenya untuk memperjuangkan nasib bangsa Indonesia. Idealisme tersebut melebur dalam peran dan tanggung jawab mereka.
     Kesadaran sebagai masyarakat terdidik dan kekuatan pembaharu, menjadikan idealisme mahasiswa yang selalu tunduk pada kehendak rakyat dan berjuang bersama rakyat, serta melekat dan menerangi setiap pergerakan mahasiswa. Rakyat dan pemerintah sebagai dua kelompok dalam sebuah Negara dikonotasikan sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan, dan atau pembuat aturan dan pelaksana aturan. Rakyat sebagai pelaksana, sering kali dijadikan sebagai obyek sebuah tindakan, baik itu lewat kebijakan maupun secara langsung. Untuk itu garis pemisah antara pemerintah dan rakyat semakin jauh. Nah, pada batas inilah mahasiswa sebagai bagian yang terintegrasi dengan rakyat memainkan perannya untuk memainkan kontrol terhadap berbagai kebijakan dan pelaksanaan pembangunan. Mahasiswa hadir untuk mengawal kemajuan dan pembangunan agar tidak lari dari cita-cita sebuah masyarakat ideal. Pada poin inilah idealisme dan gerakan mahasiswa harus ada sebagai kekuatan moral rakyat yang terintegrasi dengan kehidupan sosial.

Mahasiswa dan Gerakan mahasiswa
Sebelum kita memahami gerakan mahasiswa dan idealismenya, maka kita perlu mengetahui tentang apa dan siapa itu mahasiswa. Mengapa mahasiswa sebagai orang-orang terdidik harus memiliki peran dalam lingkungan sosial?
     Menurut A.M Fatwa dalam buku Syaifulla Syam (2005), mengemukakan bahwa mahasiswa merupakan kelompok generasi muda yang mempunyai peran strategis dalam kancah pembangunan, karena mahasiswa merupakan sumber kekuatan moral (moral force) bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti, bahwa mahasiswa merupakan bagian yang terintegral dengan masyarakat, namun dengan seleksi tertentu mengenyam pendidikan formal pada Perguruan Tinggi, dan mempunyai peran untuk mengaplikasikan pengetahuan dan pemahaman tingkat tingginya untuk pembaharuan dalam masyarakat. Hal ini senada dengan pemahaman Andito (2005), yang mengatakan bahwa mahasiswa merupakan kelas sosial di masyarakat yang mempunyai konotasi religiusitas, moralitas, intelektualitas dan humanitas. Mahasiswa merupakan penghubungan antara dimensi ketuhanan (maha) dan kemaklukan (siswa). Kata “maha” identik dengan makna kebenaran yang absolud, sedangkan kata “siswa” identik dengan sosok pembelajar yang senantiasa dinamis. Dengan demikian mahasiswa merupakan pembelajar yang dinamis, yang didalamnya kebenaran absolud yang diyakini masyarakat itu ada. Masyarakat memandang mahasiswa sebagai sumber pengetahuan dan pemahaman. Mereka adalah orang-orang terdidik yang akan membantu mengarahkan nasib bangsa ini. Dan secara historis menunjukan bahwa mahasiswa telah menjadi tokoh penting dalam tiap perubahan yang terjadi.
     Mahasiswa juga telah menjadi sumber kepemimpinan dalam berbagai perubahan dalam sejarah bangsa, serta disisi lain tetap menjadi anak muda yang idealis dan berpikir ilmiah. Apudin (2005) menyatakan bahwa mahasiswa merupakan kaum menengah yang tercerahkan, sebagai kaum cendekiawan dan intelektual muda yang memiliki kecenderungan sebagai seorang pemimpin yang mapan dan bila dalam suatu realitas sosial selalu menjadi pembaharu.
     Dalam bergerak, mahasiswa selalu berada dalam sebuah payung bersama. Di tingkatan Universitas, mahasiswa bergerak lewat organisasi Lembaga Kemahasiswaan atau organisasi kemahasiswaan internal kampus. Sedangkan diluar universitas mahasiswa selalu bergerak dengan payung-payung organisasi mahasiswa ekternal kampus. Para mahasiswa yang selalu bergerak seringkali disebut juga sebagai aktivis mahasiswa. Para aktivis ini melibatkan diri kedalam berbagai kegiatan-kegiatan organisasi dan sosial. Mereka selau dikonotasikan sebagai pembaharu dan agen perubahan. Hal ini disebabkan karena banyak aktivitas mereka lebih difokuskan dalam penyingkapan wacana-wacana kemasyarakatan. Para mahasiswa yang secara individu memiliki kompetensi secara keilmuan dan berpikir sistematis membantu masyarakat dalam melihat realitas sosial dan perkembangan yang terjadi dilingkungan masyarakat.
     Gerakan mahasiswa merupakan tindakan politik yang menjunjung tinggi moralitas. Disebut tindakan politik, bukan berarti mahasiswa berafiliasi dengan partai politik tertentu, namun merupakan sebuah gerakan politik dengan tujuan untuk mencapai cita-cita ideal sebuah bangsa. Politik merupakan alat yang harus digunakan oleh mahasiswa untuk menuju pada sebuah cita-cita ideal. Jown Rawls mengatakan, bahwa upaya untuk mencapai sebuah tujuan, itulah politik. Untuk itu peran gerakan mahasiswa dalam berpolitik itu sangat diperlukan. Politik ini harus dibimbing oleh moralitas agar ada kerelaan dan kemurnian dalam bergerak memperjuangkan sebuah cita-cita tetap terjaga. Menurut A. M. Fatwa mengenai peran mahasiswa dalam kehidupan sosial, yakni :
  1. Mahasiswa telah mengalami proses pendidikan dan sosialisasi politik, sehingga mengetahui dan memahami serta meresapi persoalan-persoalan di masyarakat.
  2. Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat terdidik yang penuh dengan jiwa idealisme dan berhati nurani. Ia dapat menilai keadaan empirik dengan berpatokan kepada nilai-nilai idealitas, yang dalam banyak kasus seringkali tidak sesuai dengan apa yang ada dilapangan. Hal ini menyentuh nilai-nilai idealism mahasiswa 
  3. Mahasiswa mempunyai nyali dan keberanian luar biasa dalam melakukan perubahan-perubahan sosial menurut idealism yang mereka miliki.
Untuk itu mahasiswa harus bergerak dalam sebuah gerakan mahasiswa sehingga ia tidak memarginalkan kompetensinya dan pesimis terhadap sebuah perubahan. Mahasiswa harus secara terus menerus mengawal setiap perubahan yang terjadi dimasyarakat. Menurut Arif Budiman dan Enin Supriyanto (1999), bahwa “mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha meraih kursi kekuasaan. Melainkan suatu kelompok moral (moral force) untuk memainkan peran bagi pencapaian cita-cita Negara. Tugas mahasiswa adalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau. Bila penguasa melakukan penyelewengan, mahasiswa harus melancarkan kritik sosial dan turun dari universitas. Tugas ini mirip sebagai intelektual resi dalam konsepsi kekuasaan di lingkungan budaya feudal-kolonial Jawa.”

Idealisme mahasiswa
Kata idealis dalam dunia filsafat memiliki arti yang sangat berbeda dari pengertian yang dipakai dalam bahasa sehari-hari. Secara umum kata “idealis” berarti :
  1. Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika dan agama serta menghayatinya.
  2. Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Mahasiswa yang selalu bergerak dalam masyarakat adalah seorang idealis dalam ati kedua diatas. Hal ini disebabkan, karena gerakan mahasiswa menyokong atau memperjuangkan sesuatu yang belum ada. Mereka berusaha memperjuangkan keadilan dan demokrasi serta setia pada kehendak rakyat.
     Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri atas ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa dan bukanlah benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan pada ide sebagai hal yang lebih dahulu daripada materi. Idealisme merupakan sesuatu yang tidak berwujud namun dapat membakar dan mengobarkan semangat, hingga mampu membongkar sebuah kemapaman dan menghadirkan sebuah pembaharuan.
     Lalu apakah idealisme sebuah gerakan kemahasiswaan? Sejarah menjadi bukti bahwa idealisme dari gerakan kemahasiswaan adalah kebutuhan akan sebuah masyarakat ideal yang seimbang dan menuju pada cita-cita bersama. Dari jaman pra kemerdekaan hingga pasca reformasi saat ini, mahasiswa selalu bergerak dengan idealisme ini sebagai bagian dari rakyat yang akan dan ingin melakukan perubahan bagi bangsa Indonesia. Notohamidjojo dalam pidato dies natalis UKSW ke VII (1963), mengungkapkan bahwa universitas harus hadir sebagai pusat persiapan bagi suatu masyarakat baru. Untuk itu mahasiswa sebagai bagian dari universitas, juga harus memiliki idealisme untuk menciptakan dan menjaga sebuah tatanan masyarakat baru yang adil dan makmur. Idealisme ini dimafestasikan kedalam peran-peran mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan), moral force (kekuatan moral), social control (pengendali dalam masyarakat), dan iron stock (generasi penerus).
     Gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan berarti, apabila ada sesuatu yang terjadi dilingkungan masyarakat dan alam yang salah, maka mahasiswa dituntut untuk melakukan upaya perubahan sesuai dengan harapan ideal yang sesunggguhnya. Sebagai kelompok masyarakat yang telah memiliki kematangan berpikir dan bertindak, maka mahasiswa harus mentrasfer pengetahuan dan pemahaman secara tepat, sehingga perubahan yang terjadi menjadi terarah dengan cita-cita ideal sebuah bangsa. Dalam memainkan peran ini, ia harus secara terus menerus mengoptimalkan radar sosialnya, sehingga peka dan mampu terlebih dahulu mengetahui perubahan-perubahan didalam masyarakat. Dengan kemampuan analisis sosial yang baik, maka mahasiswa mampu melakukan gerakan pembaharuan secara lebih bertanggung jawab.
     Gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral harus mampu menjaga stabilitas lingkungan masyarakat. Apabila didalam masyarakat terdapat penyimpangan norma, maka mahasiswa dituntut untuk merubah dan meluruskan kembali sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mampu melakukan itu, maka mahasiswa secara individu juga harus memiliki moral yang baik, agar bisa menjadi contoh bagi masyarakat. Dengan peran seperti ini, maka mahasiswa menjaga agar nilai-nilai kebangsaan akan tetap hidup dalam setiap sendi kehidupan sosial.
     Berikutnya, mahasiswa juga memainkan perannya sebagai social control, yakni mampu mengendalikan keadaan sosial yang ada dilingkungan sekitar. Ia harus memiliki kemampuan bersosialisasi dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Selain itu juga memiliki kepekaan sosial, sehingga mampu menciptakan perubaahn. Sikap kritis dan idealis tidak menjadikannya anti-sosial, namun mengarahkan kehidupan sosial pada sebuah tujuan yang lebih ideal. Mahasiswa diharapkan memiliki sense of belonging yang tinggi sehingga mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Tugas inilah yang dapat menjadikan dirinya sebagai harapan bangsa, yaitu menjadi orang yang senantiasa mencarikan solusi terhadap berbagai masalah yang sedang menyelimuti mereka.
     Peran mahasiswa selanjutnya, yakni menjadi generasi penerus. Sebagai generasi penerus bangsa ini selanjutnya, mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya. Mahasiswa itu merupakan aset, dan harapan bangsa untuk masa depan bangsa Indonesia. Sebagai generasi penerus, ia harus meletakan batu-batu pada kemajuan pembanguna secara tepat. Dengan kecerdasan dan kemapanannya dalam bidang intelektual, ia diharapkan mampu menjembatani antara masa lalu dan masa datang yang akan dituju oleh bangsa ini.
     Untuk menjalankan peran-peran tersebut, maka gerakan mahasiswa harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat ini. Bagaimana agar sense of crisis itu bisa tumbuh? Jawabannya adalah mahasiswa harus terintegrasi dengan lingkungan sosial. Ia tidak bisa mengambil posisi dipuncak kekuasaan intelektualitas. Atau terlalu sombong dengan kecerdasan yang dimilikinya. Mahasiswa harus mau menyatu dngan masyarakat, dan mencari tahu berbagai permasalahan yang terjadi dilingkungan sekitar. Dengan menggunakan intelektualitas dan kecerdasan sosialnya, mahasiswa dapat menjalankan perannya, serta terus menajamkan sense of crisis sebagai bagian dari menjalankan tugas sebagai pembaharu dan penggerak perubahan.

Sejarah Pergerakan Mahasiswa di Indonesia
Mahasiswa di Indonesia telah menunjukan eksistensinya dalam pergerakan sejak masa sebelum kemerdekaan. Pada tahun masa sebelum kemerdekaan, para penjajah mengeksploitasi kekayaan Indonesia. Para penjajah juga membatasi ruang gerak masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kelayakan hidup dan pendidikan. Dengan berjalannya proses penjajahan yang panjang pada akhirnya Belanda mengeluarkan suatu kebijakan politik yang bernama politik etis. Dimana kebijakan ini memberikan peluang bagi bangsawan indonesia untuk mendapatkan hak pendidikan. Kebijakan politik etis ini menjadi boomerang bagi Kolonial belanda. Beberapa kaum priyai Indonesia menyekolahkan anak mereka di sekolah Belanda seperti STOVIA (School tot Opleiding van indiche Artsen).Beberapa alumni STOVIA, seperti Soetomo, Cipto Mangun Kusumo, Wahidin Soediro Husodo, menginisiasi untuk mendirikan sebuah organisasi kelompok diskusi. Organisasi tersebut bernama Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini didirikan dengan semangat memberikan pencerdasan bagi pemuda Indonesia. Diharapkan dari pencerdasan ini, dapat bertransformasi menjadi kekuatan perlawan terhadap penjajah.
     Selanjutnya, kegiatan perjuangan pemuda pada periode sebelum kemerdekaan masih terus berlanjut. Proses perjuangan yang dimulai dengan orientasi pencerdasan sampai pada perjuangan radikal secara fisik dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dengan semangat kesatuan beberapa kelompok pemuda di Nusantara akhirnya melahirkan peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada peristiwa bersejarah ini, para pemuda menyatukan suara dengan semangat perjuangan untuk mengusir kolonial yang bercokol di Indonesia. Berikutnya, dari Sumpah Pemuda 1928, maka gerakan kepemudaan yang berciri kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon dan sebagainya, pada tanggal 31 Desember 1930, mereka telah berfusi menjadi satu dan membentuk Perkoempoelan “INDONESIA MOEDA”. Perkumpulan ini dalam sejarahnya merupakan cikal bakal gerakan kepemudaan menuju Indonesia merdeka. Meskipun organisasi ini sudah tidak berdiri lagi dizaman pendudukan Jepang, para anggotanya tetap aktif memperjuangkan cita-cita mereka secara terselubung. Dengan menimba ilmu dan teknologi kemiliteran dizaman Jepang para pemuda bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia, yang ahirnya pada periode Revolusi Kemerdekaan 1945-1949, dengan semangat, cita-cita Sumpah Pemuda, ikut serta mewujudkan Proklamasi Kemerdekaan R.I, 17 Agustus 1945.
     Setelah kemerdekaan, pergerakan mahasiswa tidaklah selesai. Pada saat itu muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947. Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, GMKI Gerakan Mahasiswa kristen Indonesia dengan Parkindo, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
     Pada tanggal 1966, Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), tepatnya tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI, menjadi lebih terkoordinasi. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan ’66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).
     Selanjutnya pada awal 1970-an, para mahasiswa terus melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti Golput menentang pelaksanaan pemilu, gerakan menentang pembangunan TMII dan lainnya. Pada tahun yang sama pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat. Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD. Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorong munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan. Protes mahasiswa terus berlanjut dan pada tahun 1972, dengan isu lainnya harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari. Pada 15 Januari 1974, gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu “ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
     Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan. Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
     Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah – wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampusseperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa. Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo,Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
     Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menanggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus. Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus.
     Pada tahun 1998 mahasiswa bergerak menuntut reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme), lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, yang pada akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Dengan kekuatan mahasiswa yang besar, maka pintu reformasi terbuka bagi Indonesia. Pemerintahan selanjutnya berusaha untuk menyuarakan suatu pemerintahan yang bersih, walaupun hal tersebut membutuhkan sebuah komitmen dan kerja keras. Akibat dari kerja keras mahasiswa maka salah satu produk reformasi yang terjadi adalah terbentuknya KPK.
     Pasca reformasi 1998, mahasiswa masih terus bergerak dengan tujuan untuk mengawal agenda reformasi yang telah dibuat. Gerakan mahasiswa pernah meredam pemerintah untuk agar tidak menaikan harga BBM pada saat masyarakat masih mengalami kesulitan. Gerakan mahasiswa juga ikut serta dalam mengawal agenda reformasi seperti pemberantasan korupsi. Gerakan mahasiswa harus terus dilakukan untuk menuju pada cita-cita sebuah masyarakat adil dan makmur.

Penutup
Memahami idealisme gerakan mahasiswa, seperti memahami seorang anak bayi yang dengan tulus mencintai ibunya. Ia belum tergerak untuk menguasai materi atau perasaan lain, diluar perasaan cintanya kepada sang ibu. Mahasiswa yang idealis haruslah menempatkan nilai-nilai akan terwujudnya sebuah tatanan masyarakat baru yang adil, demokrasi, sejahtera dan makmur, sebagai sesuatu yang melekat erat dalam dirinya. Dalam setiap gerakan yang dinamis, idealisme tersebut tidak akan terjual oleh apapun. Sikap pragmatis dan pesimis terhadap perubahan akan membawa ia jauh keluar dari tugas dan perannya. Idealisme gerakan akan tetap terjaga apabila gerakan mahasiswa selalu mempertajam radar dan kekritisannya dalam melakukan perubahan. Mahasiswa selalu lahir dari masyarakat, dan melakukan pembaharuan bagi masyarakat.

(Dibawakan sebagai materi dalam Pembekalan Lembaga Kemahasiswaan Universitas (LKU) UKSW periode 2014-2015, pada tanggal 19 Agustus 2014 di Gedung GX UKSW)

Link tulisan terkait : 
1 komentar

1 komentar

  • Anonim
    Anonim
    28 Mei 2015 pukul 16.59
    Menarik untuk dibaca
    Reply